Senin, 19 November 2007

minyak nabati untuk bahan bakar

BBM ITU BISA DARI SINGKONG, MINYAK JARAK, ATAU KELAPA SAWIT ...
Pemerintah dan rakyat seolah buta bahwa ada banyak sumber energi selain bahan bakar minyak (BBM) dan listrik. Entah sihir apa yang dimiliki bahan bakar fosil itu. Bahan bakar yang tak bisa diperbarui itu sudah mengikat masyarakat sedemikian eratnya sehingga terus dicari dan diburu kendati harganya selalu melambung tinggi. Rasanya sudah jemu para pemerhati lingkungan dan ilmuwan mengingatkan bahwa bahan bakar fosil, basis dari BBM adalah bahan bakar yang tak bisa diperbarui, juga tidak ramah lingkungan. Selain terancam punah, bahan bakar jenis ini dikenal pemicu polusi udara nomor satu. BBM yang dipakai kendaraan bermotor saat ini menghasilkan zat beracun seperti CO2, CO, HC, NOX, SPM dan debu. Kesemuanya menyebabkan gangguan pernapasan, kanker, bahkan pula kemandulan. Tak bisa dipungkiri sudah saatnya pemerintah memberi perhatian khusus pada pengembangan sumber energi bahan bakar alternatif ramah lingkungan. Bahan bakar macam inilah yang kita kenal dengan sebutan biodisel. Berdasar definisi dari Wikipedia, biodisel adalah bahan bakar berbasis minyak yang berasal dari sumber terbarukan. Sumber ini bisa minyak tetumbuhan atau lemak hewani. Sejauh ini biodisel yang sudah dikembangkan adalah minyak jarak, kelapa sawit alias crude palm oil (CPU) atau bahkan gasohol. Yang terakhir ini merupakan paduan dari gasoline alkohol, yakni hasil percampuran bensin biasa dengan hasil olahan singkong. Terdengar lucu? Jangan salah, gasohol ini sudah diujicobakan pada awal tahun ini. Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) Kusmayanto Kadiman sendirilah yang sempat mencobanya pada Januari tahun ini ketika diluncurkan pertama kali di halaman Gedung Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). BBM bernama Gasohol BE-10 ini merupakan hasil studi penelitian tim peneliti di Balai Besar Teknologi Pati (B2TP) BPPT Lampung selama bertahun-tahun. BBM yang satu ini memang bukan 100 persen biodisel, melainkan campuran 90 persen bensin dan 10 persen bioetanol. Hasil paduan keduanya menghasilkan emisi karbon monoksida dan hidrokarbon yang lebih minim dibanding bensin premium yang beredar saat ini. Kepala Bidang Teknologi Diversifikasi BPPT, Bambang Triwiyono menjelaskan studi terhadap bioetanol sudah dilakukan dari 1983 ketika produksi singkong di Lampung berlimpah ruah. �Karena banyaknya maka tidak ada pabrik yang sanggup mengolah singkong menjadi produk jadi. Maka timbul ide untuk mengembangkan bioetal dari singkong,� papar Bambang. Bioetanol merupakan etanol atau bahan alkohol hasil proses fermentasi singkong. Bahan ini bisa dimanfaatkan sebagai bahan bakar. Jadi penjelasan mengapa singkong bisa diubah menjadi BBM agaknya sudah cukup jelas. Biodisel Murni Sumber BBM lain yang tak kalah menarik adalah minyak jarak. Dikembangkan oleh ilmuwan dari Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Mitsubishi Research Institute, Jepang, BBM alternatif satu ini sudah 100 persen biodisel alami. Diteliti sejak 2004, pengolahannya cukup sederhana. Kukus sekitar 50 kilogram buah jarak (Jatropha curc) selama satu jam, kemudian hancurkan dengan blender. Hasilnya diperas sampai menghasilkan minyak. Dari 10 kilogram buah bisa dihasilkan 3,5 liter minyak jarak yang sama kualitasnya dengan solar. Bedanya tipis sekali, yakni minyak jarak memiliki lebih banyak oksigen dan nilai kalorinya lebih rendah dari solar. Keduanya membuat proses pembakaran pada minyak jarak lebih sempurna dan bersih. Masih dari tim peneliti ITB, BBM alternatif lain bersumber pada kelapa sawit. Kali ini ITB bekerja sama dengan Lembaga Minyak dan Gas (Lemigas) dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) mengembangkan BBM yang di tingkatan dunia popular dengan nama Crude Palm Oil (CPO) tersebut. Menurut Kepala Bidang Teknologi Informasi Energi, Material dan Lingkungan BPPT, Dr Rahmat Mulyadi, target dari penelitian tersebut mengarah pada diversifikasi energi dalam usaha menghemat pemakaian BBM konvensional dan menjaga tingkat pencemaran gas buang. Berdasarkan hasil penelitian tahun 2000 yang dilakukan BPPT, bahan bakar biodisel terbilang ramah lingkungan karena tingkat pencemarannya rendah. �Hal ini sesuai dengan program langit biru pemerintah yang bertekad mengurangi kadar SOx NOx dan timbal dalam BBM,� jelas Rahmat kepada SH beberapa waktu lalu. Biodisel kelapa sawit di negara seperti Amerika Serikat (AS) dan Australia sudah banyak diaplikasikan. Sedangkan pemakaian secara besar-besaran justru terjadi di negara Amerika Latin dan Afrika, di mana produksi kelapa sawit cukup tinggi. Bahkan di Jerman pemakaian biodisel sudah diterapkan langsung, baik untuk kendaraan maupun mesin industri. Pembangunan Pabrik Direktur Campa Biodisel GmbH and Co, berkedudukan di Ochsenfurt, Jerman, Dr Ralf Truck dalam kesempatan sama menerangkan sisi positif penggunaan biodisel. �Biodisel kelapa sawit cocok untuk mengoperasikan banyak jenis dan merek mobil. Mengandung asetan tinggi, yaitu lebih dari 55, bebas dari sulfur, selalu bisa diperbarui, tidak mengandung toksin atau racun, padat energi dan mampu dioperasikan di musim dingin, yaitu dalam suhu di atas minus 20 derajat Celcius,� jelas Truck. Hanya saja bahan bakar ini perlu melalui proses transertifikasi lebih dulu sebelum bisa digunakan. Di Jerman, persediaan produksi kelapa sawit sangat terbatas mengingat negara ini tidak memusatkan diri di bidang perkebunan. Alasan itulah yang dikemukakan Truck mengenai alasan pihak Campa Biodiesel menjalin kerja sama dengan BPPT dan PT Hutani Lestari sebagai pemasok kelapa sawit. Rahmat menjelaskan produksi kelapa sawit di Indonesia cukup meningkat dari tahun ke tahun. Dari satu hektare kebun dihasilkan rata-rata 20 ton. Setelah diproses akan menghasilkan sekitar empat ton minyak kelapa sawit. Data tahun 2000 menunjukan terdapat sekitar tiga juta hektare kebun kelapa sawit yang menghasilkan minyak sekitar 6,7 juta ton. Rahmat optimistis cadangan sumber energi fosil menipis, Indonesia telah siap dengan sumber energi kelapa sawit. Kepala Balai Rekayasa Desain Sistem dan Teknologi BPPT, Ir. Arsyadi Mulyosurono menyatakan hingga saat ini biodisel di Indonesia baru mencapai tahap penelitian. Sedangkan Jerman sebagai negara yang sama sekali tidak memproduksi minyak kelapa sawit telah menjadi penghasil biodisel terbesar di dunia. Secara teknis, biodisel (Methyl Ester) terbentuk melalui reaksi transesterifikasi, yaitu reaksi antara senyawa ester (CPO/CPO parit) dengan senyawa alkohol (methanol). Menurut Arsyadi, yang telah melakukan penelitian sejak tahun 2000, pada reaksi ini diperlukan katalis untuk mempercepat proses. Produk yang dihasilkan dengan feed minyak kelapa sawit adalah 95 persen biodisel (termasuk senyawa alkohol yang bereaksi) dan produk samping berupa 5 persen glyserol. �CPO parit atau minyak kotor mempunyai kadar FFA antara 40 sampai 70 persen dan merupakan produk limbah dari pabrik kelapa sawit (PKS). Dengan pemanfaatan CPO parit ini diharap tuntutan zero waste production akan terpenuhi,� jelas Arsyadi. Produksi minyak kelapa sawit dengan rendemen sekitar 21 persen, hasil CPO parit diperkirakan antara 0,3 sampai 0,6 persen berat basah yang diproses. Rencana pembangunan pabrik biodisel dirancang dengan kapasitas produksi 400 kilogram per jam. Lokasi pabrik disarankan menjadi bagian dari PKS. Sedang luas tanah yang diperlukan untuk bangunan diperkirakan 250 meter persegi. �Selama ini 30 persen kebutuhan solar Indonesia didapat dari impor. Dengan menghasilkan solar biodisel diharap mampu menekan impor dan biaya solar di masa mendatang,� tutur Arsyadi yang telah bergabung dengan BPPT sejak 1981 ini. (SH/merry magdalena) Sumber: Sinar Harapan (28/3/05) *rc

Minggu, 21 Oktober 2007

ramadhan pasca gempa


Pada tanggal 11 september 2007, kami melaksanakan aktivitas kampus seperti biasanya,hanya saja terjadi sedikit perbedaan perbincangan dalam waktu-waktu sela yaitu kami memperbincangkan masalah awal ramadhan yang kami lakanakan dipondokan masing-masing,kami merasa sedih karena pada awal ramadhan kami tidak berkumpul dengan keluarga..........
Tidak jauh beda dengan tanggal 11 september 2007,tanggal 12 september 2007 kami masih memperbincangkan hal yang sama,akhirnya dengan rasa sedih mau tidak mau kami harus melaksanakan awal ramadhan dipondokan kami masing-masing.sepulang dari kampus pukul 15.30 wib saya langsung mempersiapkan makanan untuk sahur..setelah selesai mempersiapkan makanan,bersama anak pondokan kami berbincang-bincang tentang puasa pada tahun-tahun yang lalu..
setelah pukul 18.00 wib kami masuk kamar masing-masing untuk mandi...sebelum mandi saya merakan suatu goncangan yang sangat kencang dan akhirnya saya berlari keluar pondokan bersama teman-teman untuk menyelamatkan diri......
Terdengar isu bahwa akan terjadi tsunami, maka bersama 2orang teman pondokan saya melarikan diri kekepahyang...
Di pagi harinya, kami memutuskan untuk pulang kepondokan dan langsung kembali kekampung halaman..Setelah kondisi sedikit amn,saya kembali lagi kepondokan,karena aktivitas kampus akan dimulai seperti biasanya..
Akhirnya, pada tanggal 5 oktober saya kembali kekampung halaman untuk melaksanakan lebaran dengan orang tua..Semua keluarga berkumpul ditanggal 13 oktober,tidak jauh dari tahun-tahun sebelumnya, pada satu syawal kami melaksanakan sungkeman pada kedua orang tua dan bermaafan dengan para tetangga...